Monday, October 30, 2017

JALAN TASAWUF SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI


Menurut Sulthanul Auliya, terdapat 7 prinsip dasar bagi salik dalam bertarekat, yakni:

1. Mujahadah
Allah SWT berfirman,, “Orang-orang yag berjihad (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami,” (Al-‘Ankabut [29]: 69).
Imam Juneid Al-Baghdadi mengatakan, “Aku mendengar As-Sari As-Saqathi berkata, ‘Wahai anak muda! Bekerja keraslah sebelum kalian mencapai usia sepertiku yang lemah dan tak bisa melakukan amal secara optimal.’ Hal ini dikatakan beliau setelah melihat tidak ada anak-anak muda yang gigih beribadah seperti dirinya.”
Ibrahim bin Adham menjelaskan bahwa seseorang tidak akan mencapai derajat orang-orang yang shaleh hingga ia melawati enam perkara: 1) Menutup pintu nikmat dan membuka pintu kesusahan; 2) Menutup pintu kemuliaan dan membuka pintu kehinaan; 3) Menutup pintu istirahat dan membuka pintu kerja keras; 4) Menutup pintu tidur dan membuka pintu begadang; 5) Menutup pintu kekayaan dan membuka pintu kemiskinan; 6) Menutup pintu harapan dan membuka pintu persiapan menyambut kematian.

2. Tawakal
Allah SWT berfirman, “Barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupi keperluannya (QS Ath-Thalaq [65]: 3). Hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman,” (QS Al-Maidah [5]: 23)
Anas ibn Malik r.a. meriwayatkan, seorang laki-laki menemui Rasulullah SAW dengan mengendarai seekor unta. Ia bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku membiarkan untaku tanpa diikat, lalu aku bertawakal?” Beliau menjawab, “Ikat dulu untamu! Lalu bertawakal!”
Abu Turab Al-Nakhsyabi mengatakan, tawakal adala melemparkan badan dalam penghambaan (‘ubudiyyah) dan mengaitkan kalbu dengan ketuhanan (rububiyyah), serta merasa tenang dengan apa yang ada. Jadi, jika diber, dia bersyukur dan jika tidak diberi, dia bersabar.”

3. Akhlak
Allah berfirman, “Sesungguhnya kamu benar-benar berakhlak agung,” (Al-Qalam [68]: 4). Anas ibn Malik ra. berkata bahwa Rasullah Saw. pernah ditanya tentang orang mukmin yang imannya paling utama. Beliau menjawab, “Yang paling baik akhlaknya.”
Akhlak adalah hal yang paling utama karena akhlak mencerminkan jati diri yang sebenarnya. Manusia terkubur oleh kelakuannya dan terkenal karena kelakuannya juga. Ada yang mengatakan, akhlak yang baik diberikan secara khusus oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw. sebagaimana mukjizat dan keutamaan yang Dia berikan kepadanya. Namun, Allah tidak memuji beliau karena prestasi beliau seperti pujian-Nya kepada beliau karena akhlak beliau. Ada yang berpendapat, Allah memuji Nabi Muhammad karena akhlaknya yang agung karena beliau adalah orang yang mendermakan dunia dan akhirat (jad bi al-kaunain) dan mencukupkan diri dengan Allah. Budi pekerti yang agung berarti tidak memusuhi dan tidak layak dimusuhi karena makrifat yang mendalam akan Allah.

4. Syukur
Allah berfirman, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)mu,” (Ibrahim [14]: 7). Menurut ahli hakikat, syukur adalah mengakui nikmat yang diberikan oleh pemberi nikmat secara khusus. Allah menyebut dirinya sebagai “Yang Maha Mensyukuri” (al-Syakur) dalam arti yang meluas. Maksudnya, dia akan membalas para hamba atas syukur mereka.
Ada yang mengatakan, hakikat syukur adalah memuji orang yang telah berbaik hati memberi (al-muhsin) dengan mengingat-ingat kebaikannya. Syukur hamba kepada Allah berarti memuji-Nya dengan mengingat-ingat kebaikan yang Dia berikan. Sementara, syukur Allah kepada hamba adalah pujian-Nya atas si hamba dengan menyebut kebaikannya kepada-Nya. Selanjutnya, kebaikan budi hamba adalah ketaatannya kepada Allah, dan kebaikan budi Allah adalah kemurahan-Nya memberikan nikmat kepada hamba.

5. Sabar
Allah berfirman, “Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah,” (An-Nahl [16]: 127). Aisyah ra meriwayatkan, Nabi Saw. bersabda, “Sabar yang sesungguhnya adalah sabar ketika menghadapi guncangan yang pertama.” Seorang laki-laki mengadu kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah, hartaku telah habis dan tubuhku digerogoti penyakit.” Nabi Saw. menukas, “Tidak ada kebaikan pada hamba yang tidak kehilangan hartanya dan tidak sakit tubuhnya. Sesungguhnya jika Allah SWT. mencintai seorang hamba, maka Dia timpakan cobaan kepadanya.
Jika Dia menimpakan cobaan kepadanya maka Dia akan membuatnya bersabar.”
Sabar ada tiga macam, 1) Sabar karena Allah, yakni sabar dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. 2) Sabar bersama Allah, yakni sabar menerim qadha dan skenario Allah pada dirimu berupa cobaan dan kesulitan. 3) Sabar atas Allah, yakni bersabar menanti apa yang dijanjikan Allah berupa rezeki, bebas dari masalah, kecukupan, pertolongan, dan ganjaran di akhirat.

6. Ridha
Allah berfirman, “Allah meridai mereka dan mereka pun meridai Allah,” (Al-Maidah [5]: 119). Rasulullah bersabda, “(Manis) rasa keimanan hanya bisa dicicipi oleh orang yang rida menerima Allah sebagai Tuhan.” Allah juga berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui,” (Al-Baqarah [2]: 216).
Abu Ali Al-Daqqaq ra mengatakan, rida bukanlah tidak merasakan cobaan, akan tetapi rida sesungguhnya adalah tidak memprotes ketentuan dan qadha. Apakah seseorang bisa mengetahui bahwa Allah meridainya? Dia bisa mengetahuinya. Jika seseorang merasakan hatinya rida kepada Allah maka dia tahu bahwa Allah rida kepadanya.

7. Jujur (Shiddiq)
Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar,” (At-Taubah [9]: 119). Diriwayatkan Abdullah ibn Mas’ud ra bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jika seorang hamba selalu berkata benar dan terus bergiat mengupayakan kebenaran, maka Allah akan menetapkannya sebagai shiddiq (orang yang selalu berkata benar).”
Shidq adalah pilar dan penyempurna segala hal. Ia merupakan derajat kedua setelah derajat kenabian. Shadiq adalah sifat yang melekat pada seseorang yang jujur/berlaku benar.
Sedangkan shiddiq adalah bentuk mubalaghah (hiperbola), diberikan kepada orang yang terus-menerus melakukan kejujuran/kebenaran, sehingga menjadi kebiasaan dan karakternya.
Ada tiga hal yang menjadi buah manis orang yang berlaku shidq dan tidak akan lepas darinya: kenikmatan, wibawa, dan keramahan.

--Disarikan dari At-Tasawwuf dalam kitab Al-Gunyah Lithalibi Thariq Al-Haqq karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

Tuesday, October 24, 2017

Kisah inspiratif

Malam itu di sebuah pesantren yatim-piatu di Jawa Timur seorang Pengusaha datang bersilaturahmi ke Kyai pengasuh pesantren.
Dia memang punya keinginan utk membagi sesuatu kpd Pak Kiyai.
*
Maka berlangsunglah pembicaraan antara keduanya.
“Pak Kyai, saya datang ke sini mau minta bantuan do'a agar hajat saya dikabulkan oleh Allah SWT.” ujar si Pengusaha.
*
“Memangnya saudara sedang punya hajat apa?” tanya Pak Kyai ringan.
*
“Begini Pak Kyai …, saya ini punya usaha di bidang migas. Saya sedang ikut tender di Riau. Doakan agar saya bisa menang tender…” jelas si Pengusaha.
*
“Hmmmmm….” Pak Kyai hanya bergumam tanpa sedikit pun memberi tanggapan.
*
Entah apa gerangan, mungkin utk meyakinkan Pak Kyai, tiba-tiba si Pengusaha menambahkan, “Tolong doakan saya dlm tender itu Pak Kyai, insya Allah seandainya saya menang tender, pasti saya akan bersedekah ke pesantren ini!”
*
Dahi Pak Kyai berkernyit mendengarnya.
Raut muka beliau terlihat sepertinya agak tersinggung dg pernyataan si Pengusaha.
*
Menanggapi pernyataan si Pengusaha, Pak Kyai yg asli Madura bertanya, “Sampeyan hapal surat Al-Fatihah…?”
*
Si Pengusaha menjawab bhw ia sangat hapal.
*
“Tolong bacakan surat Al-Fatihah itu..! “pinta Pak Kyai.
*
“Memangnya ada apa Pak Kyai, kok tiba2 ingin mendengar saya baca surah Al-Fatihah..?” tanya si Pengusaha.”
*
“Sudah baca saja… saya mau dengar” tukas Pak Kyai.
*
Maka sang Pengusaha itu pun mulai membaca surah pertama dln Al-Qur'an.
بسم الله الرحمن الرحيم. الحمد لله رب العالمين. الرحمن الرحيم. مالك يوم الدين. إياك نعبد واياك نستعين...
*
“STOP sudah  cukup…, berhenti sampai di situ!” pinta Pak Kyai.
*
Si Pengusaha pun menghentikan bacaannya.
*
“Ayat yg terakhir sampeyan baca itu mengerti tidak maksudnya...?” tanya Pak Kyai.
*
“Iyyaaka Na’budu wa iyyaaka Nasta’iin…, Pak Kyai?” tanya si Pengusaha menegaskan.
*
“Ya, yg itu..” jawab Pak Kyai.
“Oh itu saya sdh tahu betul artinya… "kepada-Mu ya Allah kami mengabdi dan kepada-Mu ya Allah kami memohon pertolongan” tandas si Pengusaha.
*
Pak kyai lalu berujar enteng, “Oh, rupanya masih sama Al-Fatihah sampeyan dg yg saya punya...”
*
Si pengusaha memperlihatkan raut kebingungan di wajahnya. “Maksud Pak Kyai…?!” tanya si Pengusaha heran.
*
“Saya kira Al-Fatihah sampeyan sdh terbalik menjadi "Iyyaaka Nasta’iin wa iyyaaka Na’budu!” jawab Pak Kyai.
*
Si Pengusaha malah bertambah bingung mendengar penjelasan pak Kyai, ia pun berkata, “Saya masih blm mengerti Pak Kyai..”
*
Pak Kyai tersenyum melihat kebingungan si Pengusaha, beliau pun menjelaskan, “Tadi sampeyan bilang kalau menang tender maka sampeyan akan sedekah ke pesantren ini. Menurut saya itu mah "Iyyaaka Nasta’iin wa iyyaaka Na’budu.
Kalau Al-Fatihah sampeyan gak terbalik, pasti sampeyan sedekah dulu ke pesantren ini, insya Allah pasti menang tender..”
*
Deggg...!!! Keras sekali smash sindiran menghujam jantung hati si Pengusaha.
*
Ba’da dzuhur esok harinya, hape pak kyai berdering. Rupanya si Pengusaha yg tadi malam.
“Mohon dicek Pak Kyai, saya barusan sdh transfer ke rekening Pesantren,” kata si Pengusaha, sambil pamit lalu menutup telepon.
*
Sejurus kemudian Pak Kyai pergi ke BANK membawa buku tabungan.
Usai dicetak (Prin-tout) lalu dicek, mata Beliau terbelalak melihat angka 2 dan deretan angka 0 yg cukup panjang. Hingga Pak Kyai merasa sulit memastikan jumlah uang yg ditransfer.
*
Pak Kyai pun bertanya kpd teller BANK, “Mbak, tolong bantu saya berapa dana yg ditransfer ke rekening saya ini?”
*
Sang teller menjawab, “Ini nilainya 200 juta, Pak Kyai..”
*
Pak Kyai pun begitu sumringah. Seumur-umur baru kali ini ada orang menyumbang sebanyak itu ke Pesantrennya, berulang kali ucapan "Alhamdullilah" terdengar dari lisannya.
*
Malamnya lepas Maghrib, Pak Kyai mengumpulkan seluruh ustadz dan santri di pesantren yatim itu.
Mereka membaca Alquran, dzikir & do'a yg panjang utk hajat yg ingin dicapai oleh si Pengusaha.
*
Arsy Allah SWT malam itu mungkin bergoncang. Pintu2 langit mungkin terbuka, sebab do'a yg dipanjatkan oleh Pak Kyai dan para santri yatim begitu khusyuk….
*
Seminggu berselang si Pengusaha menelpon Pak Kyai.
“Pak kyai, saya ingin mengucapkan terima kasih atas do'anya tempo hari.
*
Alhamdulillah, baru saja saya mendapat kabar bhw perusahaan saya menang tender dg nilai proyek yg cukup besar...!!!”
*
Mendengar itu, Pak Kyai turut bersyukur kpd Allah SWT.
Ia lalu bertanya, “Berapa nilai tender yg didapat...?”
*
“Alhamdulillah, nilainya Rp 9,8 milyar...” jawab si Pengusaha.
*
سبحان الله العظيم
Begitu cepat dan besar balasan dari Allah SWT yg diterima oleh Pengusaha itu.
*
Mendengar itu, Pak Kyai turut bersyukur kpd Allah SWT.
Ia lalu mengajak para guru dan santrinya utk SUJUD SYUKUR atas kerjasama yg baik antara Pengusaha dan para Pengajak kebaikan
*
Pesan Moral...
Ketahuilah wahai saudaraku, bhw apapun kebaikan yg kalian lakukan pasti akan kembali kpd diri kalian sendiri.
Begitu juga sebaliknya, perbuatan buruk apapun yg kalian lakukan akan kembali kpd diri kalian sendiri

Wednesday, October 18, 2017

S-O-B-A-R-I

*_S-O-B-A-R-I_*
( Power of Sufi)

Namanya *Sobari*. Singkat saja nama itu. Padahal, banyak orang punya nama yang panjang atau setidaknya dua suku kata dengan tambahan nama orang tua atau famili atau marga. Orang bilang nama itu lambang harapan. Banyak orang tua memberi nama anaknya nama tokoh sejarah, panglima perang, raja, intelektual, artis. Tentu ada kebanggaan ketika orang tua melahirkan anak dan sekaligus bermimpi kelak anaknya dapat meniru idolahnya atau sesuai apa yang mereka inginkan.

Tapi *Sobari* adalah *Sobari*. Mungkin orang tuanya memberi nama itu hanya mengharapkan *Sobari* menjadi orang sabar. Tak penting mau jadi apa, yang penting sabar. Cukup.

Aku mengenal *Sobari* sebagai seorang sahabat. Kami tak begitu akrab karena mungkin berbeda langkah yang sulit seirama. Namun arah kami sama: menuju satu titik karena sholat kami ke kiblat yang sama. Entah doa atau memang keinginan orang tuanya agar *Sobari* menjadi orang yang sabar, maka jadilah *Sobari* orang yang menyelesaikan kesehariannya dengan sabar dan kesabaran.

Sebetulnya saya bosan membahas tentang *Sobari*. Apalagi banyak hal selama pergaulan dengannya membuat saya pening. Banyak logika saya masuk lubang sumur. Tapi pertemuan kemarin dengan *Sobari* membuat saya harus kembali melihat Sobari tak lagi *Sobari* sebagai sahabat. Tapi *Sobari* sebagai Tao hidup.

_“Udah berapa anakmu?”_ tanyanya ketika kami bertemu. Maklum saja sudah hampir lima tahun tak bertemu.

“Dua.”

_“Oh ....”_

“Kamu gimana?”

_“Dua ratus, barangkali....”_ jawabnya singkat sambil tersenyum.

“Yang seriuslah .”

_“Kapan aku becanda dengan kamu?”_

“Benarkah itu?” aku bertanya seperti orang bodoh.

_“Kapan aku bohong kepadamu?”_

Aku garuk-garuk kepala. Penampilan *Sobari* cukup necis. Safari warna hitam. Beda dengan penampilannya yang dulu kukenal. Wah, sudah makmur sekarang *Sobari*. Padahal, lima tahun lalu dia masih berkeliaran di Tanjung Priok sebagai calo barang di pelabuhan.
_“Datanglah ke rumahku.”_ *Sobari* memberikan kartu namanya. Tertera namanya *SOBARI*. Tak ada jabatan tertera di bawah namanya.Tentu tak ada pula titel karena *Sobari* hanya menamatkan SLTA. Padahal jaman sekarang banyak orang membeli gelar untuk mendapatkan status agar dipercaya.
“Bagaimana dengan dua ratus anakmu itu?” Aku menampakan wajah setengah memperolok karena aku tetap yakin *Sobari* tidak serius dengan kata-katanya. Apalagi lima tahun lalu aku tahu *Sobari* belum punyak anak walau sudah 20 tahun berumah-tangga.
_“Datanglah kerumahku”_, jawabnya lagi dengan tersenyum. _“Tentu kamu masih tidak yakin, tapi tak ada salahnya untuk datang kerumahku,”_ sambungya seakan menangkap kesan di wajah saya.

Di hari Minggu yang cerah, saya datang berkunjung ke rumah *Sobari*. Itupun tidak ada niat untuk datang khusus ke rumahnya. Kalaulah relasi saya yang di Pluit tidak mungkir dengan janjinya, maka hari Minggu ini tak mungkin bertemu *Sobari*. Tak sulit mencari alamatnya yang baru. Ternyata semua orang di komplek itu mengenalnya. Rumahnya ternyata yang terbesar di antara rumah yang ada di komplek itu. Bahkan menurut ukuran saya rumahnya layak disebut gedung, bukan rumah. Ukurannya 20 kapling yang masing masing berukuran 100 meter dijadikannya satu. Besar, kan?

*Sobari* menyambut saya dengan tersenyum dengan jabatan tangan yang lembut. Dia menuntun saya masuk ke dalam rumah. Diruang tamu itu tak ada tampak satupun anak-anak yang dua ratus itu. Juga tak tampak sepatu anak-anak di teras rumah. *Sobari* memang bohong atau becanda. Saya tak mau lagi membahas soal dua ratus anak. Saya hanya ingin bertemu dengannya dan sedikit ingin tahu kisah suksesnya.

“Luar biasa!” kataku menatap ke seluruh ruangan yang ada di ruang tengah rumahnya. “Apa bisnis kamu ?”

_“Bangun jalan.”_ katanya seraya tersenyum.

“Kontraktor?”

_“Ya.”_

“Proyeknya di mana?”

_“Di bumi.”_

Saya tertawa. “Seriuslah, setidaknya aku ingin kamu ajari aku bagaimana dapatkan uang dengan cepat. Lima tahun terlalu cepat untuk mendapatkan semua ini,” kataku.

_“Saya serius. Dari dulu kamu kan tahu aku selalu serius. Kamu melihat waktu lima tahun terlalu cepat untuk menghasilkan sukses. Bagiku bukan soal waktu lima tahun atau apa karena aku tak pernah menghitung waktu.”_

“Tapi kamu sukses sekarang.”

_“Belum dan belum,”_ jawabnya tegas.

“Apakah kamu punya target untuk dicapai?”

_“Tentu, tentu ada target. Selagi aku hidup target itu belum akan tercapai.”_

“Wah, kamu ambisi ya. Beda dengan dulu kamu yang aku kenal. Ada apa ?”

_“Bukan soal ambisi, tapi tak ada pilihan. Dari dulu sampai sekarang aku tidak berubah. Tidak ada ambisi apapun. Kecuali menjalani hidup apa adanya.”_

“Lantas bagaimana kamu mendapatkan ini semua?”
*Sobari* kembali tersenyum. Mungkin dia menangkap rasa keingintahuanku.

_“Kamu kan tahu. Dari dulu aku membenci orang mengemis. Bukan karena aku tak suka dengan orang yang lemah. Bukan. Aku sangat mencintai semua hamba ciptaan Allah.Tapi, soal mengemis itu aku sangat benci. Dulu kalau aku menjual barang yang ada di gudang. Aku tak pernah membuka proposal harga berapa akan kujual. Tak pernah. Kamu tahu itu. Orang melihat barang dan aku membuka semua keterangan soal harga itu dari gudang. Mereka tertarik, mereka membayar kepada pemilik barang. Selesai. Kalau mereka memberi aku untung karena jasaku, maka aku terima. Kalau mereka langsung ngoloyor ya aku tak akan mengejar untuk mereka membayar komisiku.”_

“Ya, itu aku tahu. Itu konyol namanya.”

_“Dan aku tetap hidup dengan caraku. Selalu ada saja cara aku mendapatkan uang tanpa harus meminta. Kamu juga tahu itu.”_

“Orang kasihan melihat kamu yang berlelah di pelabuhan mencari pembeli barang tapi tak ada uang. Orang memberi kamu uang karena prihatin dan itu semua datang dari sahabat-sahabat kamu,” kataku sinis.

_“Rasa kasihan itu adalah nilai spiritual yang menjadi hakku. Mereka memberi hanya menunaikan hakku yang dititipkan Allah kepada mereka. Dan mereka tak bisa berkelit bila Allah berkehendak.”_

“Ya, tapi bentuk lain dari caramu mengemis?”

_“Aku tidak pernah mengemis dalam bentuk apapun.”_

“Ok lah…” kataku mengakiri perdebatan ini. “Beritahu padaku bagaimana kamu mendapatkan ini semua.”

_“Karena orang memberi tanpa aku meminta. Sama seperti dulu.”_

“Dengan semua yang ada sekarang kamu miliki?”

_“Ya!”_

“Yang benarlah, *Sobari*. Mana pula ada di zaman sekarang orang memberi. Apalagi dalam jumlah besar.” Kepalaku mulai pening.

_“Itu pikiran kamu. Kenyataannya ada!”_

“Ok lah. Lantas, apa yang diharapkan orang memberi itu kepadamu?”

_“Dia tidak berharap apapun dariku. Tidak ada. Dia memberi karena keyakinannya kepada sesuatu.”_

“Sesuatu ???” Aku bengong. “Apa itu?”

_“Keselamatan,”_ jawabnya singkat. Tetap tersenyum dan “sabar “ meladeninku.
“Ceritakan padaku,” kataku. Aku tak ingin jawaban singkat lagi sebelum aku terjebak dengan masalah yang bikin aku pening."

_“Empat tahun lalu ada orang datang ke rumahku. Dia datang karena petunjuk dari seseorang. Akupun tak tahu siapa itu orang. Hanya pintanya agar aku menerima semua uang yang ada di tangannya. Orang itu menyerahkan uang kepadaku dan berharap pemberian uang itu dapat menyelamatkannya dari prahara.”_

“Oh, ya? Siapa orang yang memberi uang banyak itu?”

_“Akupun tak tahu siapa namanya. Dia langsung pergi tanpa meninggalkan alamat atau indentitas.”_

“Kemudian?”

_“Uang itu tidak aku tempatkan di bank tapi ku simpan di lemari rumah.”_

“Mengapa?”

_“Aku enggak butuh uang untuk hidup dan aku takut dengan uang sebanyak itu.”_

“Lantas?”

_“Keesokannya ada lagi teman mengabarkan bahwa ada pabrik bata press yang akan ditutup oleh pemiliknya. Pemiliknya orang asing. Teman itu kasihan dengan nasib buruh. Asalkan ada uang sedikit, orang asing itu mau menyerahkan pabriknya. Kemudian aku menemui orang asing itu untuk menyanggupi membeli pabrik itu. Tak ada negosiasi. Aku hanya menyerahkan semua uang yang ada di tanganku kepada orang asing itu. Tanpa menghitung jumlahnya. Orang asing itu langsung menyanggupi. Dan pabrik berpindah ke tanganku. Keesokannya lagi, ada kontraktor besar datang ke pabrik memberi aku uang cukup besar untuk pesanan besar. Uang itu aku berikan kepada mandor pabrik. Mereka bekerja.”_

Aku mulai tertarik. Dari matanya aku melihat *Sobari* tidak berdusta dan memang dia tidak pernah berdusta. Itu aku tahu betul. Aku memperhatikan dengan seksama ceritanya.

_“Pabrik itu membutuhkan batu bara cukup besar untuk memanaskan oven pabrik. Kemudian ada pengusaha dari Kalimantan memberiku sebagian saham pada konsesi batu baranya asalkan aku mau membeli batu baranya. Dia menawarkan kerjasama. Dia butuh kepastian penjualan tambangnya karena itu yang disyaratkan oleh bank yang akan memberinya kredit. Aku menerimanya. Setahun kemudian orang itu meninggal dan menitipkan wasiat agar tambang itu aku teruskan pengelolaannya asalkan biaya hidup keluarganya aku tanggung.”_
Aku terpesona.

_“Entah kenapa ada orang China datang menawarkan kerjasama untuk membeli batu bara itu dan menyanggupi mengeluarkan biaya untuk menambah kapasitas produksi. Aku menyanggupi. Tapi terhalang karena butuh angkutan kapal ke dermaga besar. Orang China itu memberi uang untuk membeli kapal tunda. Akhirnya akupun jadi eksportir dan juga pemilik kapal angkut. Dari satu kapal menjadi 10 kapal. Sebagian disewa pula oleh penambang lainnya.”_
Aku semakin terpesona....

_“Pihak Pemda mengajukan proposal kepadaku agar membina penambang kecil. Mereka inginkan aku sebagai penyangga. Pemda memberiku lahan cukup luas untuk membuat tempat penampungan batu bara. Kemudian bank memberiku fasilitas untuk membantu likuiditas sebagai pusat penyangga penambang kecil. Akupun menyanggupi. Akhirnya akupun memiliki tempat penyangga dan sekaligus sebagai trading house batu bara.”_

_“Karena uang berputar begitu cepatnya, pihak bank menawarkan kepadaku untuk membuka Bank Perkreditan Rakyat. Akupun memilih BMI, BPR syariah. BPR itu ternyata bukan hanya melayani usaha tambang tapi juga usaha lainnya.”_

“Jadi sudah berapa usaha yang kamu miliki sekarang ?”

_“Pabrik bata, tambang batu bara, eksportir, BPR, Angkutan Kapal...”_

“Kamu konglomerat sekarang dan itu hanya dalam jangka waktu lima tahun.”

_“Aku *Sobari*... bukan konglomerat. Aku kontraktor.”_

“Kontraktor???”

_“Siapapun kita di dunia ini, hidup sebagai kotraktor. Allahlah yang memberikan kita pekerjaan. Kita hanya sebagai pelaksana dan membangun sesuai design yang sudah ditetapkan oleh Allah. Pemilik project tetaplah Allah."_

“Projectnya apa?”

_“Membangun jalan menuju kepada kemuliaan. Semua orang punya bidang tugas masing- masing. Bukan soal besar atau kecil. Karena di hadapan Allah semua tugas itu sama nilainya. Yang melebihkan adalah tingkat keikhlasan kita berbuat karena Allah. Cinta di balik tugas itulah intinya.”_
Aku terhenyak dengan analoginya yang sangat dalam.

_“Itu sebabnya dari dulu aku tidak pernah mengejar atau memita apapun baik kepada Allah maupun kepada manusia. Doa bagiku bukan meminta, tapi menyapa Allah. Bekerja bagiku bukanlah meminta tapi bersyariat. Tak ada istilah bagiku untuk bernegosiasi soal hak di dunia ini. Apalagi harus menjual diri dengan segala atribut, kata-kata, proposal, janji dan lain sebagainya. Hidup ini, kata-kata tetaplah kata-kata. Janji tetaplah janji. Tapi kenyataan adalah segala- galanya. Kenyataan itu cinta besar di balik perbuatan kita. Itulah nilai kita.”_

_“Bagiku semuanya jelas. Aku hidup karena Allah. Tak ada keberanianku untuk mengemis lain apa yang aku suka. Kalau di depanku ada tanah luas aku mencangkul untuk bertani. Kalau di depanku ada tambang, aku gali. Kalau di depanku ada uang, aku bikin bank. Kalau di depanku ada barang, aku jual. Kalau di depanku ada sungai dan laut, aku bikin kapal. Kalau ada orang memintaku jadi pemimpin aku jalankan sesuai mandat."_

_"Semua itu datang bukan karena aku menginginkan, tapi datang dengan sendirinya tanpa pernah aku minta apalagi mengemis. Karena kita terlalu rendah untuk menentukan apa yang kita mau. Apalagi menentukan masa depan yang kita mau. Wong kapan kita harus berhenti sedetik ke depan kita tidak pernah tahu kecuali hanya berandai-andai.”_

_“Semua yang ada di dunia ini menuju ke satu titik. Kematian. Itu pasti. Manusia kadang selalu merasa mampu bernegosiasi soal banyak hal tapi kenyataanya tak ada orang yang mampu bernegosiasi soal kematian.”_

_“Manusia suka sekali meminta dan mengemis dalam bentuk apapun. Kekuasaan diburu. Mengemis di hadapan rakyat agar memilihnya. Mengemis kepada bank agar mendapatkan kredit. Mengemis kepada juragan agar mendapatkan tambahan gaji. Mengemis kepada Allah agar dapat berkah. Mengemis kepada atasan agar naik pangkat. Ini sangat memalukan. Budaya brengsek.”_

“Tapi, kita kan harus berbuat sesuatu. Hidup adalah kompetisi. Orang butuh kemampuan skill menjual ide atau barangnya. Orang butuh skill untuk meyakinkan orang lain. Orang butuh kemampuan menguasai resource yang terbatas. Semua itu kan syariat yang semua orang tak bisa lari sebagai sunnatullah,” kataku.

_“Cara berpikir seperti itulah membuat kita terjebak dalam budaya brengsek. Akibatnya ada istilah kalah dan menang. Ada pula istilah kaya dan miskin. Adapula istilah konglomerat dan kaki lima. Kedamaian tak lagi tampak. Kelas terbentuk dengan masing-masing kelas hidup dalam kecemasan. Yang kaya takut miskin, yang miskin takut mati kelaparan, yang berkuasa takut jatuh. Sebetulnya tak perlu ada kompetisi asalkan semua orang dalam posisi memberi. Tapi rasa memberi itulah yang semakin terkikis dari keseharian kita. Semua pamrih, termasuk beribadah pun pamrih."_

“Assalamu’alaikum…,” terdengar suara anak-anak masuk ke dalam rumah. Aku menoleh ke arah pintu masuk. Mereka ada berempat. Satu-satu mereka menyalami kami. Kemudian masuk ke dalam rumah. Terus ke belakang. *Sobari* tersenyum. Saya bingung melihat anak-anak itu yang tampak kumal. Mereka gembel namun masuk ke rumah mewah dengan tanpa risih. Tak berapa lama, datang lagi rombongan anak kecil masuk ke rumah. Dan terus, terus. Hingga sore jumlahnya mencapai 200 anak.

“Siapa mereka? Bagaimana bisa begitu banyak jumlahnya?" tanyaku bingung. Karena yakin itu bukanlah anaknya.

_"Awalnya hanya dua orang-anak jalanan. Mereka melintasi rumahku yang besar ini. Mereka tidak mengemis kepadaku. Mereka hanya memandangi rumahku dari luar. Aku meminta mereka masuk ke rumahku. Kemudian mengizinkan mereka kapanpun datang sesuka mereka. Mereka datang, mereka mendapatkan semua yang ada di dalam rumah ini. Aku makan maka merekapun makan. Kemudian dari hari ke hari jumlah terus bertambah dan bertambah."_

"Wah itu bagaimana kalau jumlahnya semakin banyak. Apakah kamu sanggup?"

_"Bila nikmat Allah itu diperlihatkan kepada orang lain maka itu artinya kita harus siap untuk membagi nikmat itu kepada siapapun. Orang yang takut membuka nikmatnya kepada orang lain itu artinya kikir. Orang yang membuka nikmatnya kepada orang lain tapi tetap kikir maka itu namanya sombong. Tak jauh beda dengan iblis yang dilaknat Allah. Jadi inilah sebagian project yang diserahkan oleh Allah untuk kukerjakan. Sama seperti dua anak dan istrimu yang juga project dari Allah untukmu. Mereka anak jalanan yang menjadikan rumah ini sebagai tempat singgah mereka.”_ Kemudian *Sobari* berdiri. _“Mari ke belakang...._ ”

Aku mengikuti langkahnya. Di ruang belakang terhampar deretan meja makan. Tampak anak-anak yang sedang menikmati makan dengan tertib. Di ruang lain ada pula ruang kelas untuk anak-anak belajar. Lengkap dengan guru dan alat peraga belajar. Di ruangan lain, ada pula deretan foto kegiatannya di pabrik dan di lokasi tambang serta di desa di mana dia membuka BPR. Tampak di foto itu *Sobari* hadir di tengah mereka dengan senyum dan merekapun semua tersenyum tanpa kesan berjarak dengan *Sobari*. Semua kehangatan terpancar di antara mereka. Sebuah gambaran tentang ketulusan dari kebersamaan.

Sore telah menjemput. Akupun minta pamit untuk pulang. Pikiranku tetap kepada *Sobari.* Tak ada lain dari sosok *Sobari* kecuali kesabaran. Sabar melewati waktu tanpa pernah mengemis atau meminta kepada siapapun. Karena dia menyadari bahwa ketika Allah menghidupkannya, alam berserta isinyapun sudah diberikan untuknya. Sebuah cara melewati tempat persinggahan dengan rendah hati. Dia tinggal menjalani itu semua dengan sabar menuju satu titik dan selesai.

®Copas dari grup DDB

Thursday, October 12, 2017

Mudah²an manfaat

https://youtu.be/h91p7AdJmAA

Mari Merenung

Merenunglah...!!

Hey kamu.. yg bernama jiwa manusia…
Kamu merasa sdh lama mengaji, banyak ilmu yg dikuasai, berasa otak cerdas sekali…
berduyun-duyun orang bertanya padamu sana-sini…
Lalu kamu ingin memuji diri...?
*
Hey Jiwa...!!
Dalam Fiqh perbandingan madzaahib apa yg sdh kau kuasai..? Atau kau merasa ilmumu sepantaran Imam Al-Bukhari dan An-Nawawi..?
Hingga kamu merasa pintar sendiri...?
Kemudian kau membuat orang merasa bodoh dg sikapmu yg “sok tinggi”.
Janganlah begitu...
*
ILmu Allah laksana samudera tak bertepi.
Pun di atas langit keilmuan seseorang, masih ada langit di atasnya lagi.
Di atas itu semua ada Dzat Yg Maha Mengetahui.
*
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
“… dan di atas tiap2 orang yg berpengetahuan itu ada lagi yg Maha Mengetahui.” (Q.S. Yusuf: 76)

قيل إن العلم ثلاثة أشبار : من دخل في الشبر الأول، تكبر ومن دخل في الشبر الثانى، تواضع ومن دخل في الشبر الثالث، علم أنه ما يعلم.
“Ada yg berkata bhw sesungguhnya ilmu itu terdiri dari 3 jengkal.
Jika seseorang baru menapaki jengkal yg pertama, maka dia menjadi tinggi hati (Takabbur). Kemudian, apabila dia telah menapaki jengkal yg kedua, maka dia pun menjadi rendah hati (Tawadhu’).
Dan bilamana dia telah menapaki jengkal yg ketiga, barulah dia tahu bhw ternyata dia tidak tahu apa2” (Dinukil dari kitab Hilyah Thalibil ‘Ilmi, buah pena Syaikh Bakr ibn ‘Abdillaah Abu Zaid).
*
Rosululloh صلى الله عليه وآله وسلم bersabda:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk Syurga seseorang yg di dlm hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.”
Ada seseorang yg bertanya, “Bagaimana dg seorang yg suka memakai baju dan sandal yg bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim)
*
Sya'ir berkata:
تواضع تكن كالنجم لاح لناظر, على صفحات الماء وهو رفيع
ولا تكن كالدخان يعلو بنفسه, على طبقات الجو وهو وضيع
“Rendah hatilah…jadilah laksana bintang bercahaya yg tampak di bayangan air yg rendah, padahal sebenarnya dia berada di ketinggian. Jangan menjadi laksana asap yg membumbung tinggi dg sendirinya di lapisan udara yg tinggi, padahal sebenarnya dia rendah.”
*
Hey Jiwa... yg mengaku telah meniti Jalan Salaful Shaleh…
Coba lihat akhlakmu ini, Mulutmu kotor penuh hujatan, mencela, dan memaki...
Mana sajakah dari akhlak mereka yg kau setujui..?
*
Coba kau hitung dg jari...!!!
Kau pandai mengaku tapi tak jua baik budi

وكل يدَّعي وصلاً بليلى …. وليلى لا تقر لهم بذاكا
“Semua orang mengaku punya hubungan cinta dg Laila, namun Laila tak membenarkan pengakuan mereka.”
Janganlah begitu…
*
Pengakuan itu tidak hanya sekadar di lisan belaka, namun harus dibuktikan dg amalan yg nyata wahai yg bernama jiwa…
*
Kamu.. yg sudah berpakaian syar’i..
Kamu melirik sinis ke akhawat yg baru mulai serius belajar Agama, kau rendahkan mereka dg gelagatmu yg membuat mereka jengah.
Apa engkau mengira dirimu itu sdh shaalihah setengah mati...?
*
Allah تعالى berfirman:

فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“..Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. DIA lah Yg paling mengetahui tentang orang yg bertakwa.” (Q.S An-Najm:32)
Janganlah begitu...
*
Berpakaian syar’i tdk serta merta menjadikan diri kita seutuhnya baik dan suci.
Bisa jadi di sisi lain mereka lebih baik darimu, karena ternyata, mungkin diantara yg berjilbab syar’i msh ada yg suka ber-ghibah tentang itu dan ini.. Janganlah merasa Syurga sdh kau booking sendiri.
*
Kamu, yg sdh menghafal Al-Qur’an seluruhnya…
Tak usahlah merasa paling hebat sedunia. Apa tajwidnya sdh benar kau terapkan dg sempurna..?
Apa hafalanmu mencapai derajat “itqaan” di luar kepala...?
*
Kamu, yg sdh menghafal hadits ribuan banyaknya…
Tak perlu kau merasa otakmu paling kinclong sejagat raya.
*
Baiklah,,, kamu mungkin sdh berhasil menghafal sekaliber Al-Imam Bukhari. Tapi apakah kamu sdh menguasai dan menghafal berbagai kitab induk hadits lainnya...? Lengkap dg Asbaabul wurudnya, Penjelasannya, Plus menguasai serba-serbi ilmu tentang hadits dan Mustholahnya...?
Janganlah begitu.…
*
Sesungguhnya hafalanmu bkn utk sekadar berbangga-bangga belaka.
Apa kau sdh mentadabburi isinya, Kau amalkan yg telah kau hafal...? Belum tentu semua yg kau hafalkan, dapat benar2 kau amalkan dlm kehidupan nyata.
*
Berhati-hatilah... tercabutnya nikmat hafalan itu semua, kala hatimu lengah mencari ridha dan pujian manusia.
*
Kamu, yg pandai menghias bacaan Al-Qur’anmu…
Mungkin suaramu itu seperti Syaikh Musyari dan Syaikh Fahd Al-Kandari. Atau tajwidmu secermat Syaikh Al-Hudzaifi.
*
Lantas kamu jadi pamer dan berbangga hati?

ماشاء الله
*
Membaca Al-Qur’an kok hanya ingin dipuji: “Maa Syaa Allaah…suara dan cengkok lagunya indah sekali…“.
Janganlah begitu...
*
Sesungguhnya memiliki suara indah hanyalah anugrah ILahi sekaligus fitnah dari Allah bagi diri. Jika kamu terus berbangga hati, bisa jadi nikmat suara indahmu nanti dicabut oleh Allah, hingga suaramu jadi sumbang, atau malah tak memiliki pita suara sama sekali

والعياذ بالله تعالى
*
Syukurilah dan gunakan hal itu utk menambah pahala bagi dirimu sendiri.

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ
“… dan apa saja nikmat yg ada pada kamu, Maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemadharatan, Maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (QS. An-Nahl : 53).
*
Kamu, si pintar dari universitas ternama…
Apa sih sumbangsihmu bagi Negara dan Agama..?
*
Tak usahlah kau jadi besar kepala..!! Kalaupun kau sdh menyumbang manfaat bagi sesama, belum tentu itu kan berbuah pahala.
Iya, karena tendensimu ternyata tak lebih dari perkara dunia semata, bukan karena ikhlas mencari ridha-Nya.
*
Kamu, yg bisa baca kitab kuning dan berbahasa arab tanpa harakat…
Mengapa hal itu membuatmu begitu tinggi hati..? Kesalahan wajar pemula kau caci maki.
*
Bercerminlah terhadap diri, Apakah dahulu engkau tak pernah tersalah dalam belajar sama sekali...?
*
Kamu, yg bergelimang harta…
Memandang orang tak punya dg sebelah mata.
Lagakmu itu bak dunia milik pribadimu saja.
Untuk urusan sedekah, Subhaanallaah… begitu pelitnya.
*
Allah تعالى berfirman,

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya hartamu dan anak2mu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yg besar.” (QS. At-Taghabun: 15)
*
Kamu, yg (katanya) berjihad di jalan Allah menegakkan dan membela Agama-Nya…
Klaim mu telah “mengorbankan segalanya“.
Belum tentu amalanmu diakui di sisi-Nya.
*
Iya, karena dg amalanmu, kamu berbuat ‘Ujub dan Riya' seolah kau mengharapkan pujian sebagai Mujahid asli dan Pemberani
*
Raدosululloh صلى الله عليه وآله وسلم bersabda:

ثَلاَثُ مُهْلِكَاتٍ : شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَإعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ
“Tiga perkara yg membinasakan pahala
1. Rasa pelit yg ditaati
2. Hawa nafsu yg diikuti
3. Ujubnya seseorang terhadap dirinya sendiri” (HR. At-Thabrani dlm Mu’jam Al-Ausath)
*
Kamu, penulis nasihat yg (katanya) bijak dan disukai…
Apa kau pikir tulisanmu itu paling cemerlang sendiri..? Lalu kamu jadi berbangga hati..? Merasa sudah jadi penasihat sejati..? Amboi, berkacalah diri.. jangan-jangan kamu bak lilin yg membakarmu sendiri.
Sudah menasihati tapi tak dijalani.
*
Dari Usamah bin Zaid رضي الله عنه, dia berkata, “Aku pernah mendengar Rosululloh صلى الله عليه وآله وسلم bersabda, “Seseorang didatangkan pada hari kiamat lalu dilemparkan ke dlm Neraka, hingga usus perutnya terburai, lalu dia berputar-putar di dlm Neraka seperti himar (Keledai) yg berputar-putar pada alat penggilingnya. Lalu para Penghuni Neraka mengerumuninya seraya bertanya, ‘Wahai Fulan, apa yg telah menimpamu..? Bukankah engkau dahulu menyuruh kami kpd yg Ma’ruf dan mencegah kami dari yg Munkar..?’
Dia menjawab, 'Memang aku dulu menyuruh kalian kpd yg Ma’ruf, tapi justru aku TIDAK melakukannya, dan aku mencegah kalian dari yamg Mungkar, tapi aku justru melakukannya.” (HR.Bukhari & Muslim)
"
Allah عز وجل berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ، كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang2 yg beriman..! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yg kamu tak kerjakan..? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa yg tak kamu kerjakan.” (QS. Ash-shaf: 2-3)
*
Hey kamu yg berani berpoligami
Dengan banyak istri
Janganlah kau pamerkan para istrimu di kamera Tivi
Kau pajang istrimu saat mengaji
Kau biarkan para lelaki memandang istrimu dg birahi
*
Ketika para lelaki memandang mereka
Muncul aneka rasa
Ada yg mencibir dan ada yg suka
Semua dosa akan menimpamu jua
*
Banyak Habib dan Ulama
Yang punya istri ganda
Tapi para Beliau menyembunyikan mereka
Karena para Beliau bersih dari Sum'ah dan Riya'
*
Hey..kamu.. kamu dan kamu… jangan sombong wahai jiwa…
Kamu.. kamu… kamu… jangan merasa ‘Ujub dan Riya' duhai manusia…
*
Dengan segala kelebihan yg kau punya.
Sejatinya kelebihanmu itu semua bak pisau bermata dua
Yang dapat menghantarkanmu ke Syurga
Ada justru akan menjerumuskanmu ke dlm Neraka.
*
Ya, karena kelebihanmu itu dapat menjadi karunia yg berbuah Pahala, atau bencana yg berujung Dosa.
Sadarlah wahai Jiwa..
Supaya kamu tak terjerumus ke lembah duka
*
Met merenung
Smg bermanfaat
Salam Cinta....